Sabtu, 01 Mei 2021

Altar dan Alana (Part 2)

Baik Altar maupun Alana sudah sampai di sekolahnya. Alana langsung memarkirkan mobil mewahnya di parkiran khusus anak-anak Pandora, sedangkan Altar memarkirkan motornya di parkiran siswa pada umumnya. Memang, sekolah ini khusus keluarga-keluarga kaya raya, bahkan semua siswa memiliki kendaraan pribadinya sendiri baik diantar oleh supir ataupun pergi seorang diri. Namun, tetap saja penghuni Pandora Hill adalah rajanya di Galapagos. Maka tak heran jika mereka begitu diistimewakan.

Alana melihat ke kanan dan kiri, di sana terlihat semua anak-anak penghuni Pandora Hill sudah ada, kecuali Altar, pastinya. Kini Alana, Michelle, Brian, Lego dan Ara sudah berbaris di depan mobil masing-masing.

"Akhirnya, ujian kita beres hari ini. Sumpah ya gue udah gak sabar banget pengen cepet-cepet liburan ke luar negeri, bosen banget gue di sini apalagi harus liat nyokap mesra-mesraan sama om-om itu," ucap Alana sambil menghembuskan nafasnya kasar.

Michelle mengangguk, "Sama, gue juga pengen liburan. Lo tau kan, liburan kita semester ini barengan sama musim dingin di New Zealand. Gue bener-bener gak sabar pengen main ski di sana."

"Lo mau ke New Zealand juga, Chelle? Sama dong, gue dan anak-anak basket lainnya ngerencanain mau liburan di sana. Bisa kali kita bareng ke sananya," sahut Brian dengan wajah antusias.

"Bisa banget dong, lagian gue juga gak sendiri kok. Sama anak archery jugaa," jawab Michelle tersenyum senang.

"Hmmm, kalian berdua tuh ya gak ada capeknya deh. Di sekolah, olahraga mulu. Liburan juga masih mau olahraga? Mending ikut gue ke Paris, belanja, jalan-jalan keliling sungai seine. Pasti indah banget hmmm.. Apalagi kalo ada pacar," ucap Alana sambil membayangkan hal itu.

"Al, bukannya lo udah punya pacar, ya? Kemaren-kemaren gue lihat lo pulang dianterin cowok," ucap Ara polos.

Michelle terkekeh, "Ara, itu bukan pacarnya Alana. Itu korban ghosting Alana yang kesekian."

Alana menjentikan jarinya sambil tersenyum senang, "That's right, baby."

"Ya ampun lo bener-bener ya, Alana. Gak ngerti gue sama lo," jawab Ara bingung.

Alana melihat Ara, "Udah anak kecil gausah ngerti ya."

Teman-temannya yang lain hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar hal itu. Classic Alana, si tukang PHP dan tukang ghosting.

"Tapi, tunggu dulu deh, kalian yakin masih mau liburan ke luar negeri musim ini?" Kali ini Alegori yang bersuara.

"Yakinlah, kan ini liburan kenaikan kelas. Lumayan panjang tuh waktu liburnya," jawab Alana dengan penuh keyakinan, dan hal itu diamini oleh Michelle dan Brian.

Alegori tersenyum, senyuman yang bisa diartikan bukan senyuman yang baik melainkan senyuman yang begitu mengejek. "Kalian lupa, kita sekarang kelas berapa, huh?"

"Kelas 2, emangnya kenapa?" tanya Alana, masih belum paham dengan maksud Alegori.

"Ya Tuhan, kalian lupa atau emang gak tahu, sih? Padahal ini adalah momen yang kita tunggu-tunggu selama ini. Bahkan mungkin ini satu-satunya hal paling menarik di Galapagos selain sekolahnya yang keren. Coba gue tanya, apa yang biasa dilakuin anak kelas 2 di musim kenaikan kelas?"

Alana, Brian dan Michelle saling bertatapan, "Holly shit!"

"Ya ampun, kok bisa-bisanya gue lupa. Prom night and midnight campfire."

Michelle menghela nafas, "Untung gue belum pesen tiket ke New Zealand. Al, kayaknya kita harus cepet-cepet ke desainer langganan keluarga kita, kita harus tampil mempesona di acara Prom Night nanti," ucap Michelle semangat.

"Of course, baby, we're gonna be the queens," jawab Alana dengan wajah yang sumringah.

"Gue boleh ikut gak, sih?" tanya Ara dengan polosnya.

Lego langsung melirik, "Anak kecil, lo itu masih kelas 3 SMP. Gausah ikut-ikutan prom night segala," ucapnya sambil terkekeh.

"Lho, kenapa? Gue kan masih anak Galapagos. SMP Galapagos, tepatnya."

"Tetep aja gak boleh, Ra," jawab Lego sambil mengacak-ngacak rambut adiknya itu, dan langsung dibalas seringai matanya yang tajam. Lego pun langsung menurunkan tangannya dari kepala sang adik.

"Yaudah, mending sekarang kita ke kelas, yuk? Bentar lagi bel masuk," ajak Michelle.

Mereka pun akhirnya pergi ke kelas masing-masing. Michelle, Brian dan Lego berjalan ke kelas yang terletak di lorong kanan sebelah tangga. Sedangkan Alana di lorong kiri sebelah tangga. Ya, Alana memang tidak satu kelas dengan ketiga temannya itu, dia justru satu kelas dengan makhluk asing, menurutnya, yang begitu dingin, cuek dan tak terlihat. Siapa lagi kalau bukan Altar Alexandria.

Altar dulu dan sekarang itu sangat berbeda. Entah apa yang terjadi pada lelaki itu. Alana sempat berpikir, "Apa mungkin Altar terkena cairan kimia yang beracun seperti di film-film? Makanya sekarang sikapnya aneh, seperti makhluk tak kasat mata yang berasal dari Uranus." Entahlah. Dulu, ketika mereka masih kanak-kanak, Altar termasuk orang yang ceria. Dia sangat dekat dengan anak-anak penghuni Pandora, terutama dengan Brian karena memang keluarga mereka sudah ada di sana lebih dulu. Namun, sekarang mereka berdua seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Brian juga Lego seringkali mencoba untuk mendekati Altar dan membangun hubungan baik kembali, tapi lagi-lagi penolakanlah yang mereka dapat. Sejak kecelakaan hari itu, Altar memang menjadi pribadi yang begitu asing, tidak hanya bagi penghuni Pandora Hill, tapi juga bagi siswa siswi di Galapagos. 


***


Bel istirahat sudah berbunyi, Alana, Michelle, Brian, Lego dan kekasihnya一Celine sudah berada di kantin sekolah. Sambil menikmati makanan masing-masing, mereka sibuk membicarakan soal fisika yang baru saja mereka kerjakan. 

"Gila ya.. Padahal gue semalem belajar sampe dini hari. Tapi, sama sekali gak ada yang keluar. Sial banget gak, sih?" keluh Lego. 

"Sabar, sayang. Yang penting kan kita masih bisa isi soalnya. Ya, meskipun iya juga sih, lumayan sulit dan agak ragu sama jawabannya," sahut Celine dan ucapannya itu diamini oleh mereka semua, kecuali Alana, pastinya, yang memang tidak peduli dengan nilai-nilainya selama ini. 

"Iya, aku emang masih bisa jawab semua soalnya. Tapi, kan tetep aja aku udah buang-buang waktu semalem." 

"Makanya, Go. Kayak gue dong, hari ini ujian, semalem gue masih asyik nonton ke bioskop sama... Aduh lupa gue, anak kelas 2C yang orang tuanya dokter bedah plastik, siapa sih?" sahut Alana mencoba mengingat-ngingat namanya. 

"Arkan maksud lo?" sahut Michelle. 

"Nah, dia maksud gue." 

"Lo masih jalan sama Arkan? Tumben banget," tanya Michelle lagi. 

Alana mengangguk, "Sebenernya sih gue udah bosen, dan udah bilang juga ke dia. Tapi, semalem dia ngajakin gue nonton. Ya, dari pada gue di rumah dengerin nyokap ngomel-ngomel suruh belajar terus, mending gue jalan ama dia. Iya, gak?"

"Bener juga sih, gue juga sebenernya males banget di rumah. Belajar, belajar, belajar dan belajar. Dan lo tau gak, obsesi orang tua gue masih aja sama kayak dulu, 'Kamu harus bisa kayak Altar, pokoknya kamu harus jadi nomor satu di Galapagos'. Gitu aja terus," jawab Michelle. 

"Gue juga kali," ucap Alana. 

"Yang jelas kita semua. Kita semua dituntut untuk seperti Altar, meskipun kita sebenernya gak mampu kayak dia." Kali ini Brian lah yang berbicara. 

"Oh iya, ngomong-ngomong soal Altar, kalian semua pernah kepikiran gak sih kalo kita privat sama dia?" ucap Lego ragu. 

"No."

"No."

"Big No."

"Lo gila, ya, Go? Altar jadi guru privat kita? Lo bisa bayangin gimana mencekamnya suasana kelas kita nanti? Gak, gak, gue gak berani ngebayanginnya," kata Alana. 

Lego bingung, sebenarnya ia juga memikirkan hal yang demikian. Tapi, tidak ada cara lain.

"Sebenernya, masalahnya bukan karena sikap dia aja sih. Tapi, emangnya Altar mau ya bantu kita? Masalahnya, tiap kali kita deketin aja, dia selalu ngejauh," sahut Brian. 

"Nah itu dia, dia mau apa nggak? Kalaupun mau, aduh gak kebayang gue nanti gimana. Dia kan dingin, cuek, aduuuh pasti canggung banget suasananya," jawab Alana bergidik ngeri. 

"Tapi, gak ada cara lain selain kita minta tolong sama Altar. Setelah Midnight Campfire, kita bakal masuk ke tahun ajaran baru.. SAT menunggu, guys. Bisa apa kita? Emangnya kalian semua mau diajar sama guru les yang dari lembaga itu?" 

Mereka sejenak berpikir, guru les itu lebih menyebalkan dari pada Altar. Mau tak mau, Altar memang satu-satunya yang mereka harapkan. 

"Oke, tapi gimana caranya?" tanya Alana. 

Mereka berpikir sejenak, lalu tiba-tiba Michelle tersenyum. 

"Gue ada ide," ucap Michelle tersenyum antusias.

"Apa itu, Chelle?"

"Oke, ini mungkin terdengar gila. Tapi, gak ada salahnya kita coba," jawab perempuan berambut kriting itu sambil mengangkat kedua alisnya. "Al, lo kan satu kelas sama Altar. Gimana kalo lo coba deketin dia?"

Alana langsung melotot, "Apa? Lo gak bisa ngasih saran lebih bagus dikit, Chelle? Nggak ah gue gak mau," tolak Alana.

"Al, apa salahnya, sih? Lagian selama ini kan Brian sama Lego gak pernah berhasil untuk deketin dia. Ya, mungkin kalo lo yang nyoba, Altar bisa luluh," jawab Michelle dan langsung diangguki oleh teman-temannya yang lain.

"Dan siapa tahu juga, lo malah bisa bikin dia jatuh cinta," sahut Celine yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Alana.

Alana menggeleng-gelengkan kepalanya, "Lo udah gila, ya? Altar jatuh cinta sama gue? Itu gak mungkin, ngebayanginnya aja gue gak berani."

"Belum juga dicoba. Lagian gue prihatin sama lo, Al. Selama ini hidup lo gak ada tujuan tahu gak, sih? Siapa tahu, dengan lo sama Altar, lo bisa jadi The new Alana. Dan kita juga dapet untungnya nanti, punya guru privat kayak Altar. Iya gak, guys?" kali ini Brian lah yang berbicara.

Michelle, Lego dan Celine mengangguk mantap tanda setuju. 

"Udah Al, coba aja dulu. Demi kita dan demi Altar juga," kata Lego.

"Gila ya lo semua! Gue dijadiin umpan begini," umpat Alana. 

Alana pun berpikir sejenak mempertimbangkan perkataan teman-temannya. Sebetulnya mendekati Altar memang pernah ia pikirkan sebelumnya. Namun, Alana terlalu takut akan penolakan. Belum lagi sikap dingin dan cuek yang Altar punya, yang mungkin bisa menyakiti hati dia nantinya kalau memang pada akhirnya Alana benar-benar menaruh hati pada lelaki itu. Alana bingung, tapi ia juga penasaran. Ia yakin Altar sebetulnya masih memiliki cinta di hatinya, kita hanya perlu menyelaminya saja. 

"Oke, gue terima usulan kalian. Gue bakal coba deketin Altar."



Altar dan Alana (Part 1)

Rumah mewah dan besar itu terlihat begitu sepi, hanya ada satu anak lelaki yang tengah memakan roti panggangnya dengan enggan. Tak lama dari lantai atas turunlah sepasang suami istri yang terlihat begitu terburu-buru. Mereka pun menghampiri anak lelaki tadi di meja makan.

"Sayang, mama berangkat kerja dulu ya.. Soalnya hari ini mama ada jadwal operasi pagi-pagi banget. Maaf ya hari ini mama gak bisa temenin kamu sarapan. Bye sayang," ucap wanita yang ternyata adalah ibu dari lelaki itu. Wanita itu mencium pipi putranya sebelum pergi.

Berbeda dari ibunya, sang ayah justru ikut duduk di meja makan. "Altar, sebentar lagi kan ada tes SAT di sekolah kamu, pokoknya papa gak mau tau, kamu harus mendapatkan nilai yang tinggi supaya kamu bisa masuk ke Harvard. Kamu harus bisa seperti papa, ya? Jadi mahasiswa Harvard. Kalau bisa nilai kamu adalah nilai tertinggi di Galapagos, oke? Keluarga kita harus tetap jadi nomor 1 di Pandora. Papa yakin kamu bisa, nak," ucap sang ayah sambil tersenyum dan menepuk pundak anaknya memberi semangat.

Anak itu yang ternyata bernama Altar hanya bisa tersenyum simpul menanggapinya.

"Oiya, papa juga berangkat duluan ya. Maaf hari ini papa juga gak bisa temenin kamu sarapan. Papa harus pergi ke Hongkong selama beberapa hari. Kamu jaga diri baik-baik ya. Kalo ada apa-apa, kamu harus langsung hubungin papa. Bye, buddy," ucap sang ayah, mengusap puncak kepala Altar lalu pergi.

"Hhhhh." Altar menghembuskan nafasnya kasar. "Bukannya setiap hari kalian gak pernah nemenin aku sarapan ya? Bukannya aku selalu sendiri di sini? Kenapa harus minta maaf?" umpat Altar sambil meletakan roti panggang yang hanya baru disantap setengahnya. Kemudian ia pun pergi ke garasi untuk bersiap-siap ke sekolah. Awalnya ia ingin mengemudikan audi merah kesayangannya, tapi hal tersebut diurungkannya. Ia malah lebih memilih untuk menaiki motor ninja miliknya yang sejak beberapa bulan lalu tak ia sentuh. Bukan karena ia tak mau, tapi suatu hal membuat orang tuanya melarang keras Altar untuk mengendarai motor. Bahkan motor itu sempat akan dibuang oleh sang ayah kalo saja Altar tak melarangnya.

"Lho, den Altar mau naik motor? Jangan dong den, nanti tuan dan nyonya marah sama saya. Den Altar pake mobil aja ya atau saya yang anterin?" ucap pak Jaka, supir di rumah itu.

"Tapi, aku maunya naik motor, pak. Aku gak papa kok," jawab Altar tegas.

"Tapi, den.. Ini kan motor udah lama gak dipake. Terus terakhir kali aden pake...." Pak Jaka menggantungkan kalimatnya, "Udah ya den, saya anterin aja ya.. Tuan dan nyonya kan bilang..."

Belum sempat pak Jaka melanjutkan kalimatnya, Altar sudah menyela, "Kalo aku bilang aku mau naik motor, berarti aku naik motor, pak. Udah deh pak Jaka gak usah ikutin kemauan mama sama papa. Mereka tuh gak pernah bener-bener sayang sama aku. Lihat aja sekarang atau hari-hari sebelumnya, apa mereka ada buat aku? Perhatian yang mereka tunjukin itu cuma topeng. Udah ah aku mau berangkat."

Pak Jaka tetap melarang, tapi Altar tak peduli.

"Buka pintu garasinya!" perintah Altar.

"Tapi, den..."

"Aku bilang buka, sekarang!"

Pak Jaka tak punya pilihan lain, akhirnya ia pun mengeluarkan remote control yang ada di saku bajunya, ia pun membuka pintu tersebut. Saat itu juga, Altar langsung menancapkan gas meninggalkan halaman rumahnya. Para pelayan yang sedang bekerja di dalam rumah ataupun di luar rumah terkejut melihat sang tuan muda menggunakan motornya kembali. Masalah besar siap menanti mereka.


***


Di rumah lain, terlihat seorang anak perempuan tengah mengoleskan lipstik merah muda di bibir mungilnya. Sambil memandang cermin, ia tersenyum melihat pantulan dirinya yang begitu cantik. Sebagai anak paling populer dan incaran setiap siswa laki-laki di sekolahnya, perempuan itu terlihat begitu sangat bangga. Ia bangkit dari meja riasnya kemudian mengambil tas ranselnya dan siap berangkat. Namun, sesaat sebelum ia membuka pintu, masuklah seorang wanita dengan wajah kesal sambil memegang kertas yang sudah dipastikan itu adalah masalah baru.

"Alana, mama gak habis pikir ya sama kamu. Kok bisa-bisanya nilai matematika kamu 30? Kamu selama ini ngapain aja sih di sekolah?" ucap wanita itu begitu sampai di dalam. 

Perempuan bernama Alana itu menutup telinganya karena suara mamanya itu terdengar memekakan telinga. 

"Aku di sekolah ngapain? Ya duduk, dengerin guru ngomong, abis itu ke kantin, latihan cheerleaders, pulang deh," jawab Alana singkat dengan wajah tak bersalah. 

"Alana, kamu itu harus belajar! Mama itu malu ya kalo kumpul sama tetangga-tetangga kita yang mana hampir semua anaknya masuk 10 besar. Lah kamu 10 besar dari belakang." 

"Yaudah mama gausah kumpul-kumpul lagi sama mereka, ribet banget. Lagian ya ma, kita kan udah kaya, nilai itu gak penting ma. Sekarang aku tanya, aku kuliah untuk apa? Untuk kerja, kan? Kerja untuk apa? Untuk dapet uang. Nah, ngapain aku capek-capek kerja kalo apapun udah bisa aku dapetin dari sekarang, eh gak dari aku kecil. Udah lah, ma, kekayaan peninggalan papa ini gak akan habis. Anak mama cuma 1, aku. Santai aja.. Apalagi sebentar lagi mama mau nikah sama pengusaha batu bara itu, kan? Yaudah santai aja kali," jelas Alana panjang lebar, dengan smirk di wajahnya. 

Mamanya menghembuskan nafas kasar, "Alana, ini bukan soal uang. Ini soal gengsi.. Kalo soal kaya, kamu gak liat keluarga Alexandria? Glenn Alexandria, pengusaha properti ternama di Indonesia dan juga mancanegara. Velove Alexandria, dokter bedah kepala terbaik di rumah sakit ternama di Indonesia, bahkan namanya sudah tercantum di Forbes sebagai salah satu wanita berpengaruh di dunia. Tapi, coba kamu liat! Anaknya tetap jadi nomor 1 di sekolah bahkan setelah peristiwa buruk yang ia alami.. Dan mama mau kamu seperti dia, Alana. Mama mau kamu serius, minimal nilai kamu gak anjlok banget kayak gini," ucap sang ibu panjang lebar, namun Alana hanya mengangguk-angguk sambil memandangi hapenya tak peduli. 

"Ma, Alana dan Altar itu beda. Dan sampai kapanpun aku gak bisa seperti dia. Lagian ya, ma, meskipun aku gak secerdas Altar, gak sekeren Alegori dan Metafora yang katanya 'The Iconic Duo'  itu atau sehebat Brian maupun Michelle, aku tetep siswa terpopuler di Galapagos. Dan itu gak bisa diganggu gugat. Udah lah, ma, aku gak mau bahas ini lagi. Bye." Kemudian Alana pun pergi melewati ibunya dan berjalan keluar menuruni anak tangga menuju garasi rumahnya. 

Perempuan berambut panjang itu pun langsung menaiki mobil lamborghini miliknya, dan pergi meninggalkan perumahan mewah itu.


Sabtu, 18 Juli 2020

The Lonely Sword

Di sebuah rumah kecil yang terletak jauh di dalam hutan, terlihat seorang bocah lelaki sekitar 15 tahun tengah berlatih bela diri di halaman rumahnya. Bersama dengan keenam teman AI-nya, anak lelaki itu terlihat begitu piawai menggerakkan kedua tangan dan kakinya untuk melumpuhkan lawan di depannya. Dengan tendangan dan pukulan yang kuat, para lawan bayangan yang berbentuk hologram itu langsung terjatuh dan menghilang begitu saja, pertanda lawannya sudah kalah, sampai akhirnya hanya menyisakan bocah itu dengan keenam temannya. Bocah bertubuh kurus itu terlihat berbangga diri, dengan senyum mengembang di bibirnya.

"Hey, Alpha, bagaimana latihanku hari ini ? Hebat, bukan ?" tanya bocah itu kepada salah satu teman AI nya.

"Hari ini kau berlatih dengan sangat baik, tuan Aaron," jawab Alpha, si manusia AI tanpa ekspresi.

"Bagaimana untuk latihan hari esok ? Apakah aku sudah siap menggunakan senjata-senjata api itu ?" tanya Aaron dengan sangat antusias. Anak itu sudah tak sabar memainkan senjata-senjata tersebut seolah dengan senjata itu, wajahnya yang tampan akan terlihat semakin mempesona apalagi dia adalah satu-satunya kandidat untuk menduduki kursi tertinggi di klan Orion. Untuk menjadi pemimpin, dia harus menjadi anak yang paling kuat dan paling ditakuti oleh siapapun, terutama oleh "Mereka".

Tak ada jawaban dari keenam temannya itu. Aaron bertanya lagi, namun hasilnya tetap sama. Keenam temannya tak menjawab sama sekali, hanya memandangnya tanpa berkedip, dengan posisi menghadap Aaron seperti tengah menunggu perintah darinya.

Aaron mendengus kesal sambil menepuk jidatnya, "Ah iya, aku lupa manusia-manusia buatan ini hanya akan aktif kalau aku memanggil namanya. Seharusnya aku meminta paman Mortling membuat manusia buatan yang lebih canggih dan nyata dari pada ini. Baiklah, Alpha, Blue, Charlie, Duo, Extra, Falga.. Apakah besok aku sudah bisa berlatih dengan senjata api ?" tanya Aaron lagi tak sabaran.

"Tidak bisa," jawab keenam manusia AI itu bersamaan.

Aaron terkejut, "Apa ? Kenapa tidak bisa, Extra ?"

"Belum ada perintah untuk melakukan itu," jawab Extra singkat.

"Baiklah, aku akan memerintahkan kalian untuk mengajarkanku menggunakan senjata. Bagaimana, Alpha's team ?"

"Tetap tidak bisa, tuan," jawab mereka bersamaan.

"Kenapa lagi ? Kan sudah aku perintahkan kalian untuk itu. Alpha, kau pemimpin mereka, apa kau tahu kenapa aku tak bisa menggunakan senjata ?"

"Belum ada perintah untuk melakukan itu."

Aaron mengeluh frustasi, "Ah, menyebalkan sekali. Pasti paman Mortling belum menanamkan perintah itu pada tubuh mereka. Ini semua pasti karena ayah belum mengizinkan hal itu, ckck."

"Yasudah, kalau begitu, sekarang temani aku saja melancong. Aku ingin pergi ke daerah selatan pegunungan Merriport. Barangkali aku bisa bertemu dengan "Mereka" di sana. Lalu, aku bisa mempraktikan ilmu bela diriku secara langsung," ucap Aaron asal seolah "Mereka" itu tak berbahaya.

Seperti yang sudah dirancang sebelumnya oleh profesor Mortling, keenam manusia buatan itu langsung mengikuti Aaron kemanapun ia pergi, tanpa mereka mengerti akan melakukan apa. Alpha dan yang lainnya memang hanya diciptakan untuk menemani Aaron dalam melakukan aktivitas serta menjaganya ketika anak itu dalam bahaya. Tidak hanya itu, mereka juga hanya bisa aktif ketika berada di samping anak itu dan juga hanya bisa menuruti perintahnya saja. Jadi, keenam sahabat bocah berambut ikal itu tidak akan bisa diaktifkan oleh siapapun, sekalipun oleh adiknya sendiri, Elektra ataupun ayahnya, Regulus Starr.

Ia pun berjalan meninggalkan rumah kecil miliknya, mengecek sesaat kubah besar yang terletak tak jauh dari tempatnya tinggal, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Bocah 15 tahun itu memang sangat senang melancong, menelusuri hutan Midford ataupun sungai Roseriver adalah hal yang paling ia sukai. Padahal kalau ia mau, ia bisa sampai di sisi selatan pegunungan Merriport hanya dengan menggunakan kereta cepat ataupun mobil tanpa supir miliknya, mungkin akan memakan waktu yang lebih singkat, hanya sekitar 10 menit.

Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, ditambah dengan waktu makan dan minum obat, akhirnya Aaron beserta keenam temannya tiba di tempat tujuan一Screaming Forest, tempat yang sangat ingin ia kunjungi selama ini. Screaming Forest adalah tempat terlarang, tidak hanya bagi para petinggi klan Orion namun juga bagi para penduduknya. Bagaimana tidak, hutan dengan pohon-pohon meranti yang menjulang tinggi itu dianggap sebagai portal antara klan Orion dengan tempat tinggal "Mereka" yang sangat berbahaya dan ditakuti sejak ratusan tahun yang lalu. Meskipun "Mereka" tak pernah berhasil masuk ke Orion, tetap saja kubah besar yang memisahkan 2 kehidupan makhluk yang berbeda ini cukup riskan dikarenakan hutan Screaming Forest yang menghubungkan keduanya. Dengan teknologi yang lebih canggih, tak heran jika suatu saat nanti kubah besar itu bisa ditembus oleh "Mereka" dan pastinya hal itu tidak boleh terjadi.

"Akhirnya aku tiba juga di sini. Untung saja akses antara aku dan ayah sudah aku nonaktifkan sejak berlatih tadi. Jadi, ia tak akan tahu kalau aku ada di sini," kata Aaron tersenyum bangga. "Lagipula, kenapa ayah tak menyuruh paman Mortling untuk menanamkan perintah 'menentang' ataupun 'melawan' kepada mereka," lanjutnya sambil melihat ke arah keenam temannya. "Mungkin kalau hal itu dilakukan, mereka akan mencegah kegilaanku."

"Blue, Charlie, Duo, Extra, Falga, berkelilinglah sekitar daerah ini. Barangkali, "Mereka" sudah berhasil menembus kubah besar. Dan kau Alpha, tetaplah di sampigku, kita akan masuk ke dalam," perintah Aaron.

"Baik, tuan."

Saat itu juga, Blue dan yang lain langsung menelusuri sekitar pegunungan Merriport sampai sisi luar hutan Screaming Forest. Sedangkan Aaron dan Alpha masuk ke dalam hutan tersebut. Baru saja masuk beberapa langkah, kengerian sudah terasa. Malam membuat hutan itu semakin mencekam, meskipun bintang-bintang di galaksi tetangga tengah bersinar di atas sana. Hutan yang memang tak pernah dikunjungi selama beratus-ratus tahun itu terasa begitu sepi dan sunyi. Bahkan, saking sepinya, deruan nafas Aaron yang menggebu terdengar begitu nyaring di telinga. Dan hal tersebut semakin menambah rasa ingin tahunya dan berjalan semakin dalam. Sampai akhirnya, langkahnya terkunci pada satu arah. Di tengah hutan belantara yang begitu sepi, terlihat satu benda terang di sisi kiri hutan, tak jauh dari kubah besar.

Dengan penasaran, Aaron pun mendekati benda itu, diikuti oleh Alpha.

Setelah sampai di sana, matanya menyipit, "Pedang ?" ucapnya bingung ketika mendapati pedang tertancap di sebuah batu besar.

Pedang yang tertancap di sana terlihat begitu kuno, namun indah. Cahaya terang tadi yang dilihat olehnya ternyata hanyalah pantulan dari bintang-bintang dilangit Andromeda yang seolah mengisi nyawa pada pedang itu. Bilah pedang yang mengkilat seperti kristal dan gagang dari perunggu dengan ukiran-ukiran yang belum pernah dilihat olehnya terasa begitu menarik.

"Alpha, bisakah kau membantuku ? Tolong cabut pedang itu dari sana, aku belum cukup kuat untuk melepaskan benda yang entah sudah berapa lama menancap di batu itu," perintah Aaron kepada Alpha.

"Baik, tuan."

Alpha pun mencoba untuk mencabut pedang itu dari tempatnya sekarang. Dengan tenaga yang sangat kuat, Alpha mencoba mengeluarkan benda itu. Namun, ternyata benda itu tetap tak mau berpindah tempat. Alpha mencoba lagi dan lagi, hasilnya tetap sama. Pedang itu tak bergerak meski hanya 1 mm.

"Maaf tuan, aku tidak bisa," kata Alpha yang akhirnya menyerah.

"Bagaimana bisa ? Ah kau ini, yasudah, aku akan panggil yang lainnya," ucap Aaron. Namun, sesaat sebelum ia mengaktifkan TBT (Terranian Base Technology) yang ada di tubuhnya, ia baru ingat kalau TBT nya sedang dinonaktifkan untuk beberapa waktu ke depan.

"Alpha, kau saja yang hubungi. Hubungi teman-temanmu yang lain."

"Baik, tuan."

Dalam waktu sekejap, Blue dan yang lain pun tiba di sana sesuai dengan perintah Alpha. Blue sampa Falga pun mencoba untuk mencabut pedang itu dari batu yang menempanya. Namun, hasilnya tetap sama. Pedang itu tetap tertancap di sana tak peduli seberapa kekuatan yang dikeluarkan oleh para manusia buatan itu. Hal itu pun membuat Aaron frustasi dan kesal, bagaimana mungkin teman-temannya yang diciptakan untuk menjadi orang yang sangat kuat tak bisa melakukan hal itu.

"Ah, kalian benar-benar payah. Bagaimana ini ?" pikir Aaron. "Apa aku yang harus melakukannya ? Ah.... bagaimana mungkin ? Mereka saja tak bisa melakukannya, apalagi aku yang bertubuh kurus, kecil seperti ini, hmmm," katanya bingung. "Tapi, aku tetap harus mencobanya. Aku harus membawa pedang ini ke ayah, mungkin ayah tahu soal ini."

Dengan ragu, Aaron pun mencoba mencabut pedang itu. Dan.... ajaib, pedang itu benar-benar terlepas hanya dengan satu kali tarikan dan pastinya tak begitu kuat. Setelah terlepas dari batunya, tiba-tiba bilah pedang itu bersinar hijau dari sudut bilah sampai ke ujung gagangnya lalu menghilang, seolah pedang itu sudah diaktifkan. Aaron kebingungan melihat hal itu, pedang yang menurut temannya begitu sulit untuk dilepaskan, terasa begitu mudah dan ringan olehnya bahkan Aaron merasa bahwa ia bisa mengendalikan pedang itu dengan sangat baik. Ia pun menguji pedang itu dengan cara bertarung dengan teman-temannya. Aaron semakin dibuat bingung juga penasaran, karena ia yang belum pernah berlatih pedang sama sekali, bahkan melihat bentuk aslinya saja belum pernah, hanya melalui gambar saja, tapi tiba-tiba ia bisa begitu piawai memainkan benda itu.

"Ini benar-benar luar biasa. Ayo kita kembali ke Winterhaven."

***

Regulus Starr benar-benar dibuat pusing oleh putera sulungnya. Bagaimana tidak, puteranya yang sejak tadi menghilang dari jangkauannya tiba-tiba datang menemuinya di tengah malam dengan mengabarkan bahwa ia baru saja kembali dari Screaming Forest, tempat yang paling dihindari oleh seluruh penghuni Orion. Ditambah lagi dengan pedang yang dibawanya, yang entah dari mana asalnya.

"Jadi, itu alasanmu menonaktifkan aksesmu, Aaron ? Kami semua kebingungan, karena penonaktifan itu, kami tak bisa melacakmu sama sekali. Meskipun Alpha bersamamu, tetap saja penonaktifan TBT mu mempengaruhi mereka," kata Regulus sambil mengusap peluh di dahinya.

"Maafkan aku, Ayah. Aku terpaksa harus melakukan itu. Kalau aku bilang, kau pasti tak akan mengizinkanku untuk pergi ke sana," ucap Aaron sambil menunduk menyesal telah membuat semua orang kebingungan dan repot mencarinya.

Regulus menghela nafas, "Itu sudah pasti. Kau memilih tinggal jauh dariku saja sudah membuatku gila, apalagi kalau harus melihatmu pergi ke sana ? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu ? Bukan hanya soal makhluk-makhluk itu, tapi juga kesehatanmu, Aaron. Bukankah kau tak pernah mau masuk ke ruangan putih itu ?"

"Tidak mau, Ayah. Aku tak mau dirawat lagi."

"Kalau begitu, patuhlah. Aku mengizinkanmu untuk tinggal di hutan karena aku masih bisa memantaumu. Tapi, kalau kau seperti ini, aku jadi khawatir," kata Regulus cemas.

"Maafkan aku, Ayah, aku berjanji takkan mengulanginya lagi," ucap Aaron menatap tulus kedua manik ayahnya.

Regulus menghela nafas, "Baiklah, aku memaafkanmu. Tapi, malam ini kau tidur di sini, ya ? Elektra sangat merindukanmu."

Aaron mengangguk dan tersenyum.

Setelahnya, Regulus pun mengalihkan pandangannya ke pedang yang tergeletak di atas meja. Pedang yang menurut puteranya itu sangatlah mencurigakan.

"Oh iya, kau mendapatkan pedang itu di Screaming Forest ?" tanya Regulus pada anaknya.

"Iya, benar, Ayah. Tak jauh dari kubah besar."

"Coba Ayah lihat," pinta Regulus pada Aaron untuk menyerahkan pedang itu.

Aaron pun segera menyerahkannya. Namun, saat Regulus akan memegang pedang itu, tiba-tiba saja pedangnya terjatuh ke lantai. Dengan sigap, pria itu pun mengambilnya dari lantai. Regulus menatap Aaron dengan bingung, lalu beralih ke arah Mortling yang sejak tadi menemani perbincangan mereka.

"Ada apa, Ayah ?" tanya Aaron bingung.

"Pedang ini tak mau terangkat, ada apa ini ?" ucap Regulus semakin bingung, ia terus menerus mencoba, namun hasilnya tetap sama, pedang itu tetap berada pada posisinya.

"Tuan Aaron, cobalah ambil pedang itu sekarang." Kali ini Mortling lah yang berbicara.

Aaron pun mengambil pedang itu dengan sangat mudah, lalu meletakannya kembali di atas. "Aku pikir hanya Alpha dkk saja yang tak bisa mengendalikan pedang ini, ternyata Ayah juga tak bisa ? Benar-benar membingungkan."

"Sebenarnya apa yang terjadi ? Mortling, apa kau tahu sesuatu ?" tanya Regulus pada kepala yang menciptakan segala macam teknologi di Orion.

"Sejujurnya, aku bingung harus menjawab apa. Ini benar-benar di luar kendali akal sehat manusia. Tapi, apa mungkin makhluk-makhluk di luar sana yang selalu memaksa masuk adalah karena benda ini ? Benda ini lah yang mereka incar. Bagaimana pun juga, kitalah yang merebut tempat ini dari mereka, mungkin pedang ini milik leluhur mereka dan mereka ingin mendapatkannya kembali. Namun, aku tak tahu kenapa hanya tuan Aaron yang bisa mengendalikan pedang ini. Ini benar-benar sulit dicerna, seperti dalam dongeng saja," jelas Mortling.

"Apa mungkin pedang ini mencari pemiliknya ?" tanya Regulus. "Tapi, mengapa anakku ? Ia bahkan masih kecil, dan bahkan belum pernah memegang pedang sama sekali. Mengingat, selama ini kita menjauhkan diri dari berbagai macam persenjataan zaman dahulu."

Mortling terdiam beberapa saat, mencoba mencerna keadaan. "Ya, kau mungkin benar, tuan Regulus. Ada kemungkinan pedang ini memang mencari pemiliknya, orang yang sangat pantas mendapatkan pedang ini. Seperti yang kita tahu, sesuatu yang besar hanya akan dimiliki oleh mereka yang kuat dan mampu bertahan. Meskipun tuan Aaron tidak kuat secara fisik, tapi keberaniannya tak bisa diragukan lagi. Itulah yang membuat pedang itu memilih dirinya. Mungkin ini hanya dugaanku saja, tapi apapun bisa terjadi, bukan ?" jelas Mortling panjang lebar, membuat Aaron dan ayahnya terkejut tak percaya.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang ?" tanya Aaron, melihat ke arah ayahnya, lalu beralih ke profesor Mortling.


"Jagalah pedang itu, jangan biarkan "Mereka" mendapatkannya." 

Kamis, 16 Juli 2020

Riddle Part 3

Secret Admire 


Namaku Angel, aku tinggal di sebuah appartement tepatnya di lantai 13.
Aku disini tinggal sendiri.

Pada suatu hari, ketika aku pulang dari kampus aku melihat sosok lelaki yang begitu tampan, dia melihatku dan tersenyum padaku. Ah aku jadi malu dibuatnya. Dan ternyata dia adalah tetanggaku di appartement sebelah.

Hingga suatu malam, aku benar-benar terkejut olehnya. Dia benar-benar nekat mengintipku di balik jendela. "Luar biasa, dia sampai rela memanjat balcon hanya untuk melihatku" pikirku. Jelas sekali bahwa itu dia tapi aku tidak terlalu memikirkannya, karena aku pikir mungkin dia hanya ingin tau aku saja.

Keesokan harinya, ketika aku membuka jendela aku pun kaget. 



Ada yang aneh?

Rabu, 15 Juli 2020

ESTERVILE


“Ma.. Pa.. kami berangkat dulu ya,” ucap Freja lalu memeluk kedua orang tuanya secara bergantian dan disusul oleh Einar.
“Iya, jaga diri kalian baik-baik ya! Ingat jangan merepotkan tante Andraya di sana,” jawab Mama Dylan kepada putri sulungnya tersebut.
“Oh iya, mama sampai lupa. Fre, jaga adikmu ini ya ! jangan sampai ia berbuat macam-macam di sana,” lanjut mamanya sambil melirik Einar, sang putra bungsu yang kini berdecak kesal.
“Ckck Come on mom, aku sudah dewasa sekarang, jadi tidak perlu dijaga-jaga lagi, apalagi oleh Freja,” jawab Einar yang tidak terima mamanya masih memperlakukannya seperti anak kecil. Mamanya hanya tersenyum melihat kelakuan anak bungsunya itu.
“Ya sudah, sebaiknya kalian segera pergi dari sini. Sebentar lagi pesawat kalian akan segera berangkat, bukan ?” kali ini Papa Julian yang berbicara.
Kedua kakak beradik itu mengangguk. “See you next week mom, dad,” ucap Freja dan Einar bersamaan seraya melangkahkan kaki mereka menuju gate tempat mereka akan segera diberangkatkan menuju Barkenburgh.
            Di dalam pesawat, mereka segera duduk di kursi masing-masing. Freja yang memang senang melihat awan secara dekat memilih duduk di sisi jendela lalu disusul oleh Einar di sebelahnya. Tepat di samping Einar, duduklah seorang wanita paruh baya sekitar lima puluh tahunan.
“Tujuan kalian kemana?” tanya wanita di sebelah Einar membuka percakapan setelah keheningan menyelimuti mereka selama beberapa menit.
“Ke Barkenburgh, Bu,” jawab Einar asal, sedangkan matanya masih tertuju kepada ponsel pintar di hadapannya yang memperlihatkan game yang sedang naik daun saat ini yaitu Mobile Legend.
Dalam hati, Freja berkata, “Oh Tuhan, mengapa Kau berikan kepadaku adik sebodoh ini?” seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana tidak, anak kecilpun tahu bahwa pesawat yang mereka naikki memang menuju kota Barkenburgh.
“Ya ibu tahu, memang seluruh penumpang di sini ingin ke Barkenburgh, Nak,” jawab wanita itu sedikit terkekeh. “Maksud ibu, tujuan kalian ke distrik mana?” lanjutnya lagi.
“Oh begitu? Aku tidak tahu, tanya saja pada kakakku,” jawab Einar melihat sedikit ke arah wanita tadi lalu kembali kepada ponsel pintarnya.
”Maaf ya, Bu, adik saya memang seperti itu. Maklum kalau sudah bermain game kesukaannya ia pasti lupa akan segalanya.” Freja menimpali sambil tertawa kecil.
“Oh ya tidak apa-apa, Nak, Ibu mengerti. Oh iya, tadi kalian ingin pergi ke distrik mana ?” tanyanya lagi.
“Distrik Estervile,” jawab Freja tersenyum.
            Setelah Freja menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba suasana menjadi hening. Ibu tadi yang pada awalnya terkesan cerewet menjadi diam seribu bahasa. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Lalu, tidak sampai lima menit, ibu itu pun memanggil pramugari untuk meminta dipindahkan tempat duduknya. Melihat hal itu, Freja menjadi bingung. Apakah ia mengatakan hal yang salah? Atau mungkin perlakuan Einar tadi membuat ibu itu tidak nyaman? Semuanya terlihat begitu janggal, namun Freja membuang segala pikiran yang ada di benaknya tersebut lalu ia memilih untuk tidur sementara Einar masih sibuk dengan ponsel pintarnya bahkan ia tak sadar kalau wanita di sampingnya telah pergi dari tempatnya.
Tanpa Freja dan Einar sadari, di samping kanan tempat duduk mereka, ada sepasang mata yang tengah memperhatikan. Manik mata birunya yang begitu tajam seolah-olah mengisyaratkan sesuatu yang ingin ia katakan kepada Freja dan juga Einar. Namun, tentunya hal itu akan sulit dan kedua anak itu pastinya tidak akan mudah percaya pada perkataanya.

            Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya Freja dan Einar pun sampai di kota Barkenburgh. Di pintu kedatangan, sudah terlihat Tante Andraya yang sedang menunggu mereka sambil membawa secarik kertas bertuliskan Freja dan Einar. Di sampingnya telah berdiri seorang pria berperawakan tinggi dan tampan, mata biru yang dimiliki olehnya seakan mampu menarik hati wanita manapun, ditambah lagi dengan hidung mancung yang semakin menambah aura ketampanannya.
“Akhirnya kalian sampai juga, bagaimana kabar kalian sekeluarga? Sudah lama Tante tidak berkunjung ke Oslo,” sapa Andraya ketika Freja dan Einar menghampirinya.
“Kami baik-baik saja, Tante,” jawab Freja.
“Oh syukurlah. Oh iya, perkenalkan, ini Tobias  Alexander, kekasih Tante,” ucapnya sambil memperkenalkan lelaki di sampingnya.
“Freja Anderson,” ucap Freja memperkenalkan diri sambil menyalami Tobias dan hal yang sama dilakukan pula oleh Einar.
“Baiklah, sepertinya kalian sudah lelah. Sebaiknya kita segera ke rumah Tante saja dan kalian bisa beristirahat di sana,” ajak Andraya lalu disetujui dengan anggukan kedua keponakannya tersebut.
            Perjalanan yang mereka tempuh lumayan lama, mungkin sekitar satu jam dari bandara. Di tengah perjalanan, mereka berbincang sambil menceritakan pengalaman masing-masing. Einar sibuk bercerita tentang rencana kuliahnya ke luar negeri sedangkan Freja sibuk bercerita tentang kisah cintanya yang begitu rumit. Andraya pun bercerita tentang kehidupan barunya di Barkenburgh. Di setir pengemudi, Tobias hanya mendengarkan tanpa berkata sedikitpun, namun sesekali ia melirik kaca spion di depannya yang memperlihatkan wajah kedua keponakan dari kekasihnya tersebut sambil sesekali  tersenyum.
            Sesampainya di rumah Andraya, Freja dan Einar langsung makan malam, mandi lalu istirahat. Einar yang memang sangat lelah karena belum tidur seharian ini pun langsung tertidur pulas. Melihat itu Freja segera menghampiri Einar. Dielusnya dengan lembut puncak kepala adiknya tersebut, terlihat sekali bahwa Freja sangat menyayangi Einar. Ia jadi teringat pada pesan ibunya sebelum mereka berdua berangkat ke Barkenburgh, yaitu untuk menjaga adiknya. Entah mengapa pesan itu seperti sebuah perintah yang memang harus Freja laksanakan. Selama ini ia tidak pernah menganggap serius pesan yang selalu disampaikan padanya setiap kali ia akan bepergian dengan adiknya.  Namun, kali ini entah mengapa timbul perasaan khawatir dalam diri Freja kalau ia tidak bisa menjaga adiknya seolah-olah akan terjadi sesuatu pada dirinya dan Einar. Terlebih lagi dengan kejadian di pesawat tadi yang belum Freja lupakan sepenuhnya. Begitu banyak pertanyaan di benaknya yang ia biarkan menggantung tanpa memperoleh jawaban apapun.  
            Keesokan harinya, Andraya dan ditemani oleh Tobias mengajak Freja dan Einar untuk pergi mengelilingi distrik Estervile, melihat segala keindahan yang distrik ini sajikan kepada mereka.
“Aku dengar dari beberapa orang bahwa distrik ini dulunya adalah distrik termiskin, betul?” tanya Einar sambil melihat-lihat sekeliling. “Namun sekarang telah menjadi distrik yang maju dan bahkan mampu bersaing dengan distrik lainnya. Mengapa bisa seperti itu?” lanjutnya.
“Ya, memang pada masa kepemimpinan sebelumnya distrik ini menjadi distrik yang paling miskin di Estervile. Namun, setelah kedatangan Tobias semuanya menjadi berubah. Cara yang ia mainkan benar-benar mampu membuat distrik ini menjadi lebih maju,” jelas Andraya sambil melirik Tobias yang dibalas dengan senyuman oleh pria dengan rambut coklat gelap itu.
“Jadi, kau adalah pemimpin distrik ini?” tanya Einar pada Tobias dan dijawab dengan anggukan saja oleh pria itu. “Lalu cara apa memangnya yang kau mainkan sehingga distrik ini bisa menjadi maju seperti ini?” tanyanya lagi. Raut muka Tobias seketika berubah ketika mendengar pertanyaan tadi.
“Kau tidak akan mengerti cara yang kumainkan dan sebaiknya kau tidak perlu mengerti,” jawab Tobias dengan tenang namun begitu menusuk.
“Ah, kau pelit sekali tidak mau berbagi. Aku kan hanya ingin tahu saja, soalnya ini benar-benar luar biasa. Menurutku, lima tahun belumlah cukup untuk bisa memajukan distrik ini. Tapi, buktinya kau bias melakukannya. Apa jangan-jangan kau melakukan cara yang tidak wajar ?” tuduh Einar dengan mata mesnyipit. Anak itu benar-benar tidak ada takutnya.
“Einar, cukup! Kau tidak boleh berbicara seperti itu pada Tobias,” tegur  Andraya.  Yang di tegur pun hanya menoleh lalu pergi begitu saja.
“Maafkan adikku, ia tidak bermaksud berbicara seperti itu.” Kali ini Freja yang berbicara.
“Tidak apa-apa, aku mengerti,” jawab Tobias santai namun jelas sekali dari sorot matanya menunjukkan bahwa ia merasa kesal kepada Einar.
            Setelah mendapat jawaban tersebut, Freja permisi untuk menyusul adiknya. Ia sedikit menasihati Einar untuk tidak bersikap seperti itu karena itu sangatlah tidak sopan. Apalagi ia belum mengenal Tobias lebih dekat. Namun, Einar bersikukuh bahwa yang ia lakukan adalah wajar, ia hanya ingin tahu saja dan tidak ada maksud lain. Tak bisa dipungkiri apa yang Einar katakan memang benar, sejujurnya Freja pun merasa penasaran dengan cara yang Tobias mainkan untuk membuat distrik Estervile ini menjadi maju dalam kurun waktu lima tahun. Waktu yang terbilang cukup singkat untuk memajukan distrik yang begitu miskin. Namun, tetap saja Freja meminta Einar untuk meminta maaf pada Tobias ketika makan malam nanti. Einar pun menyetujui. Setelahnya, mereka berdua pun berjalan melihat-lihat pemandangan sekitar distrik tersebut.
            Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan warga distrik Estervile. Warga-warga tersebut sedang bekerja dengan begitu giat sampai-sampai mereka tidak menyadari kedatangan Freja dan Einar. Terlihat barisan lelaki usia remaja sampai dewasa tengah membawa gerobak yang telah terisi penuh dengan tembaga dan hasil pertambangan lainnya untuk dipindahkan ke dalam truk lalu dibawa ke pusat kota. Memang, Barkenburgh terkenal dengan sumber daya alam yang begitu kaya. Melihat pemandangan itu, baik Freja maupun Einar merasa sangat takjub dengan semangat para warga ketika bekerja dalam memajukan distriknya. Tak terasa senyuman pun terlukis di bibir Freja dan juga Einar.

            Malamnya, seperti biasa mereka makan malam bersama. Namun, ada hal yang berbeda dari malam sebelumnya, mereka terlihat begitu diam. Mungkin hal itu berakibat dari kejadian siang tadi. Freja yang duduk sebelah Einar menyikut lengan kanan Einar, mengisyaratkan padanya untuk meminta maaf pada Tobias atas perbuatannya tadi siang, dan hanya dibalas anggukan oleh adiknya.
“Tobias, maafkan aku atas sikapku tadi siang. Aku benar-benar tidak bermaksud mengatakan hal itu padamu. Dan … Tante Andraya, maafkan aku juga,” ucap Einar menyesali perbuatannya.
“Tidak apa-apa Einar, tapi tolong jangan pernah menanyakan hal itu lagi padaku. Mengerti?” pinta Tobias.
“Ya aku mengerti, dan aku juga sudah melihat semuanya, ternyata warga-warga yang bekerja di daerah pertambangan sangatlah giat. Mereka seperti tidak mengenal lelah. Aku menjadi kagum padamu karena telah membuat mereka semangat seperti itu,”  puji Einar pada Tobias.
“Terima kasih, Einar.” Senyuman dingin yang dimiliki oleh Tobias terlukis di wajahnya.
“Sudah, sudah, aku senang kau sudah menyadarinya dan aku juga sudah memaafkanmu, Einar,” timpal Andraya dengan senyum cantiknya.
“Oh iya, kalau boleh aku tahu, kau di sini tinggal seorang diri seperti Tante Andraya?” tanya Freja kepada Tobias untuk mencairkan suasana.
“Sebetulnya aku mempunyai adik laki-laki. Namun, sudah empat tahun ini aku tidak bertemu dengannya. Terakhir kali aku melihatnya, dia sangatlah kecewa kepadaku dan memilih untuk pergi meninggalkanku,” jawab Tobias panjang lebar, terlihat sekali dari raut mukanya kalau ia sangatlah sedih.
“I’m sorry to hear that,” sesal Freja karena telah menanyakan hal tersebut pada Tobias.
“Yes, no problem,” jawab Tobias, senyuman kecil mengembang di sana.

            Hari berikutnya, Freja dan Einar memutuskan untuk pergi ke pantai yang tak jauh dari kediaman Andraya. Mereka berdua ingin melihat pemandangan laut Estervile sekaligus melihat bagaimana para nelayan-nelayan bekerja untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh warga di distrik tersebut. Tak sampai dua puluh menit, mereka pun telah sampai ke bibir pantai. Dilihatnya para nelayan dari jauh yang tengah berusaha menarik ikan-ikan hasil tangkapannya dalam sebuah jaring. Freja dan Einar begitu kagum melihatnya. Namun, tiba-tiba mereka menyadari ada hal yang janggal dari para nelayan tersebut. Mereka tidak terlihat senang layaknya nelayan-nelayan lain jika mendapatkan ikan yang banyak. Semakin Freja dan Einar selidiki, para nelayan tersebut hampir tidak memiliki ekspresi sama sekali.
“Fre, apakah kau merasakan apa yang kurasakan?” tanya Einar pada Freja.
“Ya aku pun merasakan hal yang sama. Ini benar-benar aneh,” jawab Freja tak percaya akan pemandangan yang tengah dilihatnya tersebut.
“Ada yang salah dengan orang-orang itu, Fre. Kita harus mencari tahu!” ujar Einar.
“Sepertinya bukan hanya orang-orang itu, melainkan tempat ini. Sudah kuduga sejak awal memang ada yang tidak beres. Bahkan semenjak kita berada di pesawat aku sudah mencurigainya,” tutur Freja dengan jelas.
“Maksudmu?” tanya Einar heran.
“Ya, sebetulnya wanita yang duduk di sebelahmu itu pergi setelah ia mendengar aku mengatakan bahwa kita akan pergi ke distrik Estervile. Sejak saat itu semuanya menjadi janggal, apalagi setelah ucapan Tobias tempo hari mengenai cara yang ia mainkan,” jelas Freja panjang lebar.
“Jadi, ibu itu pergi karena kau menjawab hal itu?” tanya Einar heran.
“Iya, Bodoh, makanya kau jangan bermain game saja sampai-sampai kau yang di sampingnya pun tidak sadar akan hal itu,” seru Freja, kesal.
“Game is a part of my life, jadi kau tidak bisa menyalahkan itu,” sahut Einar dengan percaya dirinya.
“Ya sudahlah terserah kau saja.”
“Lalu bagaimana ini, Fre? Bagaimana kalau tempat ini benar-benar tidak beres?” tanya Einar kembali ke topik pembicaraan yang semula.
“Lebih baik kita pulang saja, tidak baik untuk kita jika berlama-lama di tempat yang seperti ini,” usul Freja.
“Tidak, Fre, aku ingin memastikan semuanya terlebih dahulu. Bagaimana kalau kita pergi ke tempat pertambangan kemarin?”
“Untuk apa?” tanya Freja bingung.
“Memastikan apakah pekerja di pertambangan itu sama seperti nelayan-nelayan tersebut atau tidak,” jelas Einar menggebu sambil menunjuk para nelayan yang tanpa ekspresi tersebut.
“Baiklah, ayo kita pergi ke sana.” Akhirnya Freja setuju untuk memastikan semuanya meskipun hatinya merasa khawatir.
            Mereka pun pergi ke tempat pertambangan yang kemarin dan benar saja seluruh pekerja di sana tidak memiliki ekspresi. Ekspresi mereka benar-benar datar dan yang paling membingungkan ternyata mereka bekerja sepanjang hari tanpa berhenti. Hal itu terlihat dari pakaian yang mereka kenakan. Mereka mengenakan pakaian yang sama seperti pakaian di hari sebelumnya. Freja dan Einar semakin dibuat bingung dengan hal itu. Bahkan menurut Einar, apa yang ia lihat belakangan ini seperti sebuah teka-teki yang harus mereka pecahkan.
            Setelah mengetahui hal itu, Freja selalu berusaha membujuk Einar untuk pulang ke Oslo. Sejujurnya, ia khawatir jika mereka menyelidiki semua kejanggalan tersebut akan membahayakan nyawa mereka sendiri. Namun, Einar yang memang keras kepala tetap bersikukuh untuk mengungkap semuanya. Ada apa dengan distrik Arendal?  Mengapa warga distrik ini bersikap aneh? Apakah semua itu ada sangkut pautnya dengan kata-kata Tobias kemarin? Semuanya benar-benar membuat Freja pusing. Sebenarnya, ia pun ingin menyelidiki hal tersebut namun rasa takutnya mengalahkan rasa ingin tahunya.
“Einar, apakah kau tidak ingin pulang saja ke Oslo? Jujur aku takut. Tolong jangan diteruskan lagi, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu atas keingintahuanmu ini,” ucap Freja mengungkapkan semua kegelisahannya.
“It’s gonna be okay, Fre. Don’t worry I’ll be okay,” jelas Einar berusaha menenangkan kakaknya.
“Promise me?”
“Yes, I promise,” jawab Einar sambil tersenyum.

***

            Hari ini adalah hari kelima Freja dan Einar berada di distrik Arendal dan juga hari ketiga setelah mereka merasakan kejanggalan dalam distrik tersebut. Sudah tiga hari mereka menyelidiki semuanya namun tidak kunjung mendapatkan jawaban yang tepat. Sesekali Freja menyerah dan meminta kepada Einar untuk pulang saja ke Oslo karena semakin hari keadaan semakin rumit. Bahkan kemarin sore, ketika Freja dan Einar pergi ke luar rumah, semua mata tertuju pada mereka. Tatapan yang begitu menusuk seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada diri Freja dan Einar yang tidak mereka sukai. Di tengah kegelisahan Freja, tiba-tiba Einar datang membawa berita yang ingin ia ketahui dan juga ia takuti.
“Fre aku berhasil masuk ke dalam kamar Tante Andraya dan menemukan ini,” ucap Einar sambil menunjukkan sebuah buku diary milik tantenya tersebut. Memang sudah dua hari ini Andraya dan Tobias tidak ada di distrik Arendal karena ada urusan di distrik Avenus, jadi dapat dengan mudah Einar mengambil buku tersebut tanpa peduli risiko yang akan ia dapatkan jika Andraya ataupun Tobias mengetahuinya.
“Coba kulihat, kau yakin semuanya ada di sini?” tanya Freja.
“Aku tidak tahu, karena ini hanya sebuah diary biasa, tapi kenapa tak kita coba saja.”
“Baiklah, ayo!”
            Mereka membuka lembar per lembar buku tersebut. Awalnya, buku itu tidak menunjukkan sesuatu yang janggal, selayaknya buku harian biasa. Namun di tengah halaman barulah terungkap apa yang terjadi di distrik Estervile.

Estervile, 7 Juli 2020
Hari ini aku sangat senang, eksperimen Tobias membuahkan hasil. Ia telah membuat vaksin yang ia bilang akan membuat warga menuruti perintahnya dan membuat distrik ini menjadi makmur. Hari ini semua warga datang untuk mendapatkan vaksin tersebut dengan dalih mendapatkan vaksin kesehatan. Meskipun aku agak tidak setuju dengan rencana ini, tapi aku sangat mencintainya, jadi aku rela melakukan apapun.

Semakin mereka membaca lebih jauh, mereka semakin menemukan kengerian lainnya di balik keanehan Estervile. Freja dan Einar menemukan kembali halaman yang lebih mengejutkan dari sebelumnya.

Estervile, 12 Desember 2023
Akhirnya Tobias berhasil membuat Arendal menjadi distrik yang maju. Seluruh warga benar-benar menuruti perintahnya dan bekerja sangat-amat giat. Mereka tidak peduli pada apapun selain bekerja, hingga sekarang distrik ini mulai dikenal oleh penduduk di pusat kota. Semua ini berkat vaksin tersebut dan sekarang ia akan membuatnya menjadi lebih banyak lagi. Aku takut terhadap hal ini, namun demi Tobias, aku tidak bisa berbuat apapun.

Melihat hal itu, baik Freja maupun Einar sangat tidak percaya. Ternyata semua kejanggalan di distrik ini adalah ulah Tobias dan yang paling membuat mereka tidak percaya adalah tantenya pun termasuk dalang dari semua ini. Tanpa pikir panjang lagi, Freja langsung mengajak Einar untuk kembali ke Oslo dan kali ini Einar menyetujuinya.
            Tanpa mereka sadari, ternyata perbuatan Einar telah terekam oleh CCTV yang berada di kamar Andraya dan rekaman tersebut terhubung langsung pada ponsel sang pemilik, sehingga Andraya dan Tobias langsung mengetahuinya dan memutuskan untuk kembali ke Estervile. Tobias benar-benar sangat marah. Bahkan ketika ia sampai di rumah, ia langsung berteriak-teriak memanggil nama Einar namun tak kunjung menemukannya. Hingga akhirnya, ia berjalan ke arah pintu belakang dan berhasil menemukan Einar juga Freja yang telah bersiap-siap untuk pulang ke Oslo. Tobias langsung menarik Einar ke hadapannya, ditariknya kerah baju lelaki tersebut lalu ia pukul wajah dan tubuhnya tanpa ampun, menyisakan erangan dari mulut pria yang bertubuh atletis itu.
“Sudah kubilang jangan sekali-kali kau mencari tahu cara yang kumainkan. Tapi mengapa kau tetap saja mencarinya, Bodoh?” teriak Tobias di hadapan Einar. Einar diam terpaku di hadapannya, mata hazel miliknya mulai terlihat sayu.
Andraya yang melihat kejadian tersebut hanya diam saja, seolah-olah ia tidak peduli akan nasib Einar. Bahkan jika Einar akan meninggal di tangan Tobias pun, ia sama sekali tidak akan terlihat menyesal.  Sedangkan Freja menangis melihat hal itu, terlebih lagi tangan Freja telah digenggam dengan sangat erat oleh para bodyguard Tobias. Sehingga ia tidak bisa melakukan apapun untuk menolong adiknya.
“Tante Andraya tolong Einar, ia adalah keponakan Tante sendiri. Kumohon Tante bujuk Tobias agar tidak memukuli Einar seperti itu, ia tidak bersalah!” teriak Freja sambil tak henti-hentinya menangis. Namun, Andraya tetap diam saja, ia benar-benar tampak tidak peduli akan hal tersebut.
“Cukup Fre, jangan menangis. I’m okay.” Di tengah rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, Einar masih bisa berkata bahwa ia baik-baik saja. Hal itu membuat Freja semakin merasa bersalah karena tidak bisa menolong adiknya. 
            Hal berikutnya, Tobias membawa paksa Einar yang sudah tidak berdaya ke dalam sebuah ruangan gelap gulita tepat di gudang bawah tanah yang sebenarnya ruangan itu adalah laboratorium milik Tobias. Entah apa yang ingin dilakukannya terhadap Einar. Freja dengan segala kekuatannya berhasil kabur dari genggaman para bodyguard tadi dan kemudian menyusul Tobias.
“Kau memang pantas mendapatkan ini,” geram Tobias sambil mengambil sesuatu di atas meja lab-nya dan menyuntikan itu ke dalam tubuh Einar. Seketika itu juga Einar langsung tidak sadarkan diri. Freja yang melihat itu seketika menjerit memanggil nama Einar. Tangisannya semakin menjadi-jadi, ia teringat kembali akan pesan ibunya sebelum mereka memutuskan untuk pergi ke tempat ini dan itu membuat hatinya semakin sakit.
“Mengapa Tante tega membiarkan hal itu terjadi pada Einar ? Apa Tante lupa bahwa Einar itu keponakan Tante?” teriak Freja histeris dan masih menangis.
“Maaf, Fre, aku tidak bisa melakukan apapun. Ini adalah risiko yang harus Einar terima,” jawab Andraya santai. “Emilio tolong bawa gadis ini ke pavilion belakang dan kurung dia,” perintah Andraya kepada bodyguard pribadinya.
Freja membulatkan matanya kaget. Sebelum dia sempat berteriak lagi, bodyguard itu telah menyeretnya secara paksa dan mengurungnya sesuai perintah Andraya.

***

            Freja mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam bola matanya. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia tak sadarkan diri di dalam pavilion ini, yang ia tahu hanyalah adiknya saat ini sangat membutuhkan pertolongannya.  Hingga tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil namanya.      
“Freja, Freja! Ke sini! Aku akan membantumu,” ucap seseorang dan Freja pun mulai mencari asal suaranya.
“Kau siapa? Kau akan membantuku?” tanya Freja setelah menemukan asal suara tersebut. Dilihatnya sesosok pria yang terlihat begitu panik di balik jendela.
“Ya tentu saja aku akan membantumu,” jawab pria tersebut.
“Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Bahkan aku saja tidak mengenalmu.”
“Untuk sekarang, jangan banyak bertanya. Ikutilah aku dan percayalah.” Dengan begitu tergesa, lelaki itu mengeluarkan sebuah kunci dan meloloskan Freja.
“Apa kau akan menyakitiku juga?” tanya Freja, was-was. Pria tinggi di hadapannya hanya menatapnya datar. Manik birunya mengisyaratkan Freja untuk berhenti bicara.
“Kau akan banyak berterima kasih setelah ini. Jadi diamlah.”
            Mereka berdua pun keluar dari pavilion, dan ternyata hari sudah gelap. Keadaan begitu sepi dan Freja menyadari ini telah larut malam. Freja dan juga pria tadi mengendap-endap masuk ke dalam ruangan yang begitu panjang dan di dalamnya terdapat ruangan-ruangan kecil yang berbaris rapi. Di lihatnya satu persatu ruangan tersebut sambil mencari sosok Einar. Hingga akhirnya mereka menemukan Einar yang sudah terbaring lemas tak berdaya. Sang pria yang belum diketahui namanya oleh Freja itu segera mengeluarkan kunci dan membuka ruangan itu. Untung saja penjaga yang bertugas di depan ruangan tersebut sedang tertidur pulas dan tidak menyadari kedatangan mereka.
            Freja langsung menghampiri Einar, dikecupnya puncak kepala Einar. Einar terlihat begitu menyedihkan, kulitnya semakin memucat dan banyak luka memar di tubuhnya akibat pukulan yang dilayangkan oleh Tobias padanya. Mata hazel miliknya telah tersembunyi di balik kelopak mata indahnya. Freja kembali menangis melihat keadaan adiknya tersebut.  Melihat itu, pria penolong itu langsung membantu Freja untuk membopong tubuh Einar menjauhi ruangan tersebut. Dipapahnya tubuh Einar sampai menuju sebuah mobil yang terletak jauh dari kediaman Andraya.
“Terima kasih telah menolong kami,” bisik Freja kelelahan setelah membaringkan tubuh Einar. “Tapi … aku tetap tidak mengerti bagaimana bisa kau berada di sini? Siapa kau sebenarnya?”
Mobil yang mereka tumpangi mulai bergerak perlahan. Freja menatap sang pria dengan rambut brunette itu penasaran. Masih menyisakan tanda tanya besar di kepalanya.
“Maaf membuatmu bingung,” ujar pria itu pelan setelah keheningan menyelimuti mereka beberapa saat. “Aku Noah, Noah Alexander. Aku adalah adik dari Tobias.”
Seketika itu Freja terkejut. Rasa takut mulai menyelimutinya. Ketakutan itu sangat terasa hingga Noah menyadarinya.
“Kau tidak perlu takut. Aku di sini untuk menolong kalian. Aku tidak seperti kakakku yang gila kekuasaan hingga membuat sebuah eksperimen menyeramkan seperti ini, yang sayangnya berhasil ia wujudkan.”
“Bagaimana kau bisa tahu tentang eksperimen tersebut?” Kini rasa penasaran dan keterkejutan Freja semakin membumbung.
“Sebetulnya aku juga dulu pernah tinggal di sini. Kehidupan awal Esttervile memang mengenaskan. Kemiskinan dan penyakit dimana-mana. Maka dari itu orang-orang dengan penghasilan yang cukup mulai pindah dari distrik ini. Begitupula dengan orang tuaku. Namun, kakakku berbeda. Ia memiliki sebuah ide untuk memajukan distrik ini. Dengan kemampuannya dalam bidang Sains, ia mengajakku ikut serta untuk membuat sebuah vaksin yang dapat membuat orang-orang kebal terhadap penyakit, meningkatkan ketahanan tubuh dan menimbulkan rasa ingin bergerak terus-menerus tanpa kenal lelah,” jelas Noah panjang lebar.
“Lalu, mengapa akhirnya kau tidak bekerja sama dengan Tobias? Juga … bagaimana kau bisa tahu tentang kami berdua?”
“Tobias itu gila. Mungkin pada awalnya niatnya baik, tapi semakin lama, ia mempunyai pikiran untuk menguasai semua kekayaan distrik ini dari mempekerjakan warga tersebut. Aku pun memilih untuk ikut bersama orang tuaku, sedangkan ia memilih keras kepala untuk melanjutkan eksperimennya. Keberhasilannya dalam dua tahun belakangan ini membuatku geram dan berencana membuat obat penangkal dari vaksin miliknya. Lalu, soal mengapa aku mengetahuimu dan Einar adalah karena aku mengirim seseorang untuk bekerja bersama Tobias sebagai mata-mataku. Dia adalah Emilio, bodyguard yang mengurungmu tadi.”
Freja menutup mulutnya terkejut. Semua ini ternyata lebih rumit dari yang ia kira. Penjelasan Noah soal Estervile membuatnya paham kenapa sosok ibu yang ditemuinya di pesawat begitu kaget saat ia mengatakan akan pergi ke distrik tersebut.
“Lagipula, aku sudah memperhatikanmu saat kita satu pesawat menuju Barkenburgh. Kau mungkin tidak melihatku, tapi aku mendengar jelas kau akan pergi ke sini.” Noah tersenyum kecil melirik gadis berambut blonde di sampingnya yang terlihat begitu syok dengan apa yang baru saja ia alami.
“Tapi, bagaimana dengan adikku? Tobias sepertinya telah menyuntikkan vaksin itu kepadanya,” ucap Freja khawatir, melirik cemas pada Noah. Tanpa gadis itu ketahui, di tengah gelapnya perjalanan yang ia sendiri tidak tahu akan kemana, Noah telah menyiapkan sesuatu untuk mengobati ketakutannya.
“Aku sudah membuat sebuah vaksin penangkal di distrik tempatku tinggal sekarang. Belum 100 persen sempurna, tapi aku yakin itu bisa menyembuhkan adikmu.”
“Distrik tempatmu tinggal? Dimana itu?”
“Distrik Arthio.”

TAMAT ?




Altar dan Alana (Part 2)

Baik Altar maupun Alana sudah sampai di sekolahnya. Alana langsung memarkirkan mobil mewahnya di parkiran khusus anak-anak Pandora, sedangka...